UMBAR STATMEN, ISTANA-KPK MAKIN PANAS
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA – Menjelang berakhir masa jabatan, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus saja bermanuver dengan mengeluarkan beberapa statmen yang secara tegas ’melawan’ arah Istana Negara terhadap penanganan korupsi di tanah air. Salah satu yang terus diburu oleh Agus Raharjo Cs, adalah upaya mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Bahkan, statmen yang bernada kebijakan pun langsung dilalap dengan sejumlah jawaban. Salah satunya, pernyataan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman yang langsung ditanggapi secara tegas oleh Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. \"Tentu saja kami masih berharap kepada kebijaksanaan dari Presiden untuk mengeluarkan perppu. Kita masih sangat berharap karena UU KPK baru memiliki 26 poin yang melemahkan KPK sebagai lembaga antikorupsi yang independen,\" terang Laode di Gedung KPK RI, Jakarta, kemarin (29/11). Ditambahkan Laode, proses revisi UU KPK itu tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ada di dalam UU pembentukan peraturan perundangan di Indonesia. ”Jadi baik dari segi formil maupun substansi bertentangan dengan janji Presiden memperkuat KPK sedangkan kenyataannya dalam materi UU itu melemahkan KPK,\" imbuhnya. Nah, atas pertimbangan itu, Laode lagi-lagi berharap agar Presiden mengeluarkan Perppu KPK. \"Bapak Presiden memiliki hak untuk melakukan itu untuk menjaga kelangsungan pemberantasan korupsi. Akan tetapi, sekali lagi hal itu hak prerogatif Presiden,\" timpalnya. Terpisah Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdiyanto Alam mengatakan kasus korupsi di Indonesia diibaratkan seperti menderita penyakit kanker sudah memasuki stadium IV dan sulit untuk dilakukan penyembuhannya. \"Sudah terang benerang yang namanya korupsi itu mengakar. Mau lihat coba saja di institusi pemerintah. Cek dan buktikan!” tandas Yusdiyanto lewat sambungan telepon. Hampir setiap hari, sambung Dosen Hukum dari Universitas Lampung itu, terjadi pemanggilan terhadap pejabat daerah, BUMN sampai para petinggi parpol. ”Pelaku korupsi akan ada dan selalu menjamur, jika aturan UU-nya sumir dan membuka celah. Pak Presiden tolong dicatat, ini penting,” terangnya. Problem yang mencolok, sambung doktor jebolan Universitas Padjajaran itu, baik kuantitas dan kualitas metode korupsi bertambah dan bervariatif. ”OTT hanya bagian kecil dari kasus yang nampak. Publik hanya berharap, ada diskusi problem yang muncul antara pimpinan KPK dengan Presiden, jangan libatkan menteri. Biarkan presiden yang mendengar,\" terangnya. Ditambahkan, semua sepakat pelaku kasus korupsi harus mendapat hukuman berat, karena dampaknya sangat luas hingga menimbulkan kemiskinan. Tapi disisi lain, harus pula ada metode pencegahannya. ”KPK mungkin punya teorinya. Punya caranya, sampaikan saja. Berkali-kali saya sampaikan, korupsi sudah menggurita, mirip penyakit kanker stadium IV,” timpalnya. Gambaran umum tetang korupsi, lanjut dia, banyak sekali literasinya. Dari sikap, prilaku dan cara kerjanya. ”Siklusnya sama. Sikap hidupnya juga sama. Rakus, tamak, dan serakah. Parahnya tidak moral,” ucapnya. Sebelumnya, Jubir Presiden Fadjroel Rachman mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak akan mengeluarkan Perppu KPK. \"Tidak ada (Perppu KPK) dong, \\\'kan perppu tidak diperlukan lagi, sudah ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tidak diperlukan lagi perppu,\" kata Fadjroel. Sejalan dengan itu tiga orang pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang sudah mengajukan uji materi UU No. 19/2019 tentang Perubahan atas UU KPK bersama dengan 13 orang pegiat antikorupsi ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 November 2019. Untuk diketahui, revisi UU KPK disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, 17 September 2019, dengan waktu revisi hanya 13 hari sejak usulan revisi UU KPK yang diusulkan Baleg DPR. Revisi UU KPK itu sendiri ditolak banyak pihak karena dinilai hanya akan melemahkan lembaga antikorupsi itu. (fin/ful)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: